Monday, April 25, 2016

Keadilan Untuk Semua (Justice for All) #JIS #Justice4Innocent




Jika anda mengunjungi laman LP Cipinang (http://www.rutancipinang.info/) anda pasti akan terkesan dengan presentasi dengan flash yang modern, yang juga memuat visi misi dan puisi cinta yang ditulis oleh salah satu warganya. Tokoh yang pernah menjadi tahanan di penjara dengan keamanan tingkat tinggi di Jakarta Selatan termasuk novelis terkenal Indonesia Pramoedya Ananta Toer dan Wakil Presiden RI pertama, Mohammad Hatta.

Tetapi, situs-situs independen yang merujuk pada LP ini kebanyakan menggambarkannya sebagai sesuatu yang bengis, terkenal penuh sesak (The wall Street Journal, 2014), korup, dan terkenal dengan jual beli obat-obatan/narkoba (Jakarta Globe, July 2013). Meskipun laporan HAM terkini anehnya tidak tersedia, Amesty International menyatakan bahwa dalam periode antara January 2003 - April 2005, "lebih dari 81% napi yang ditangkap (dan ditahan) di Cipinang ... disiksa atau diperlakukan dengan buruk."

Di antara para narapidana Cipinang adalah Zainal, Agun, Syahrial, dan Awan, 4 mantan petugas kebersihan ISS (Integrated Service Solutions) divonis atas pelecehan seksual di JIS (Jakarta International School) "sekitar" 2014. Hukuman mereka berdasarkan atas kesaksian para korban dan orang tuanya, serta fakta bahwa mereka semua mengakui perbuatannya. Kurangnya bukti media untuk menguatkan tuduhan diabaikan oleh pengadilan, dan meskipun mereka menarik kembali pengakuan mereka, yang diperoleh dengan menyiksa saat mereka ditahan di POLDA Jakarta Selatan, para anak muda ini terbukti bersalah. Afrischa, karyawati ISS, divonis 7 tahun penjara dan tersangka keenam, Azwar, tewas dengan keadaan mencurigakan saat dalam tahanan.

Pada 14 Agustus, Pengadilan Tinggi juga memutuskan 2 guru JIS, juga dihukum dalam kasus ini, tidak bersalah atas tuduhan apapun. Setelah menjalani hukuman selama 4 bulan yang didasarkan pada "bukti" yang konyol layaknya batu ajaib, menghilangnya ruang rahasia dan rekaman video yang tak pernah dibuat, Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong benar-benar bebas sekarang. Sebaliknya, pengadilan yang sama menolak banding para petugas kebersihan di bulan Juni, dan Mahkamah Agung juga baru baru ini menolak banding mereka. Perbedaannya? Pengakuan-pengakuan itu.

"Baru-baru ini saya mengunjungi Cipinang untuk bertemu dengan Zainal, Syahrial, Agun dan Awan karena saya adalah satu dari puluhan ribu orang yang percaya mereka tidak bersalah. Berikut kisahnya di akhir hari itu. 

Ditemani oleh beberapa orang tua JIS, saya diajak ke ruang tunggu dimana keluarga dari narapidana menunggu kehadiran mereka. Di sebelah saya, seorang ibu muda dengan ekspresi sedih menyusui bayinya, dan saya pikir mungkin dia, seperti anak perempuan Agun, akan bertemu dengan ayahnya untuk pertama kalinya sejak ayahnya dipenjara. Melihat berbagai orang tua, istri, teman wanita, dan anak-anak, saya penasaran berapa banyak orang yang dipenjarakan di sini, seperti teman-teman kita, yang menjalani hukuman atas kejahatan yang tidak pernah mereka buat.

Karena kita juga ditemani oleh pengacara dari para petugas kebersihan, kita langsung diantarkan dengan sedikit keriuhan melewati beberapa pintu besi dan sepintas pemeriksaan oleh penjaga wanita ke bagian dalam penjara. Kantong dari bingkisan, surat dan makanan yang kami bawa serta hampir tidak dilihat. Salah seorang Ibu-ibu JIS, Ibu Maya, melobi kepala penjaga - jelas bahwa ia adalah pengunjung rutin - dan segera kami dibawa ke sebuah ruangan besar ber-AC dimana alas plastik digelar sepanjang dinding.

Para tahanan VIP yang menerima tamu hari ini mulai menyaring. Seorang mantan menteri diam-diam menarik perhatian saya, berpakaian batik yang sempurna. Dua orang kekar memasang kursi lipat kecil, model yang akan anda bawa saat menonton pertandingan bola, membuka koran. "Mereka masuk karena korupsi, " kata Ibu Lorly, satu dari ibu-ibu JIS, "Dan orang itu," tambahnya, mengarahkan kepalanya pada seorang yang berpakaian rapi dengan kacamata hitam, "adalah bandar narkoba." Anggota keluarga tiba dan suasana menjadi ala Indonesia; Makanan di letakkan di atas karpet seperti saat piknik, anak-anak kecil bermain bola di lantai; Saling tertawa dan memberi salam.

Anak-anak muda kita masuk: Zainal, Syahrial, Agun dan Awan. Mereka menyalami para penyokong JIS masing-masing, terlihat jelas kebahagiaan mereka meski malu-malu. Para ibu memanggil mereka bergabung di tempat yang telah dipesan dengan berrbagai macam sandal, senyum, dan canda untuk membantu mereka agar merasa nyaman. Zainal duduk di seberang saya, matanya memandang sesuatu di belakang bahu saya. Saya hanya bisa membayangkan apa yang dipikirkannya - "Siapa wanita bule itu yang mengirimkan kartu pos dari Swiss, menyemangati kami untuk kuat?"  Saya duduk diam, seorang wanita pirang di ruangan, melihat para orang tua JIS yang berdedikasi mengunjungi para anak muda yang tak bersalah ini setiap bulan membuka bingkisan yang mereka bawa kali ini. Mata Agun menyala saat ia melihat sepatu futsal dan kaos kaki baru, dan Awan menyeringai lebar sambil mencobanya. Ibu Lorly membuat mereka semua tertawa ketika ia menyarankan mereka untuk tidur sambil mengalungi sepatu di leher mereka.

"Sekarang lihat apa yang Ibu Kristan bawa untuk kalian," ujar Ibu Indah, dan saya pun menyerahkan kaos Swiss dan coklat Toblerone, sukurlah Bahasa Indonesia saya belum lupa sejak pindah ke Eropa. Zainal masih belum melihat mata saya, tetapi ia berbicara dengan pelan sekali; saya tidak bisa mendengarnya karena keriuhan di sekeliling kami. Ibu Maya mengulangi perkataannya. "Zainal bilang, mereka tersanjung ada seseorang dari jauh sekali begitu peduli terhadap keadaan buruk mereka. Dia meminta anda untuk menceritakan tentang Swiss." Untuk menutupi keterguncangan saya, saya mulai berceloteh tentang sapi Swiss. "Hari pertama saya tinggal di kampung pegunungan, saya mendengar kelentingan sapi," ujar saya. "Suaranya seperti angklung." Para anak muda, salah satunya seumuran anak laki-laki saya, menyeringai dengan senang. "Saya senang dengan cara mereka mengingatkan saya tentang Indonesia hingga di akhir minggu ketika mereka jadi sedikit menjengkelkan." Saya menutup kuping dan membuat muka sewot, dan mereka semua tertawa. Mereka bilang kartu pos pemandangan yang saya kirim ditempel di dinding dalam sel mereka. "Dan kalian semua bersama saya di Swiss setiap hari," balas saya. "Setiap kali saya berjalan dengan anjing saya, saya bawa kalian semua bersama saya. Di musim dingin, saya bayangkan kalian bermain bola salju." Mereka telah dipenjara selama lebih dari setahun saat ini, jadi mereka telah menemani saya di dalam pikiran saya melewati setiap musim.

Ibu Maya mengajurkan mereka -- jelas apa yang membuat mereka menjadi para wanita murah hati: anak-anak mereka - untuk memakan bakmi yang telah mereka bawa, dan perbincangan menjadi santai. Saya jadi tahu Zainal pendukung Atletico Madrid, dan pemain favoritnya adalah Diego dan Torres. Dia terlihat terkejut ketika saya katakan bahwa saya seorang penggemar fanatik Manchester United.

Pembicaraan beralih ke kegagalan banding di Mahkamah Agung. "Orang-orang di seluruh dunia tahu kebenaran tentang ketidakbersalahan kalian," ujar saya. "Mei berikutnya ketika saya datang ke Jakarta," saya bilang pada Zainal, "Saya ingin bertemu kalian semua di tempat lain." Dia membalas, "Saya mengagumi pemikiran ini, Ibu."

Saya tahu banyak tentang Zainal karena saya telah melakukan wawancara jarak jauh dengan para cleaners dengan pertolongan Ibu Maya. Saya tahu dia berusia 29 tahun, lahir di Ciputat, Jakarta, dan ia merupakan anak bungsu dan anak laki satu-satunya dari seorang tukang ojek yang dengan bangga selalu mengantarnya ke sekolah setiap hari hingga SMA. Zainal membantu keluarganya, membiayai sekolah keponakan-keponakannya, dan hampir menyelesaikan kuliahnya di jurusan Manajemen Ekonomi/Komunikasi di Universitas Pamulang sebelum ditangkap. Dia bermain catur, menggambar kartun, dan jago bermain fustal di antara mereka. Supervisornya di ISS mengambarkannya sebagai seseorang yang rajin dan selalu ceria,tetapi hari ini sulit untuk melihat keceriaan di wajahnya. Ibunya berkata Zainal "selalu mendengarkan dan menuruti apa permintaan orang tua. Dia baik hati, dan dianugerahi sertifikat Golden Heart dari ISS sebagai seorang karyawan yang berharga." Zainal sedang bermain layangan dengan anak laki-laki dari adik perempuannya ketika polisi mendatanginya, dan keponakannya masih sedih dengan nasib pamannya sehingga ia belum kembali bersekolah. Orang tua Zainal menjual semua tanah dan rumah miliknya untuk membayar lebih dari 100 juta Rupiah untuk beban biaya hukum. Di mana apresiasi dari ISS sekarang, saya bertanya-tanya? Informasi yang paling aneh yang saya dapat dari wawancara adalah bahwa saat dipekerjakan oleh ISS, Zainal, yang terakhir Azwar pun begitu, bekerja di sekolah JIS Cilandak ( SMP dan SMA), dan bukan di sekolah Pondok Indah dimana pelecehan terjadi. Ketika saya tanyakan pertanyaan yang sulit seperti mengapa harus mengakui perbuatan tersebut, dia menjawab, "Saya disiksa sampai saya tidak kuat lagi. Saya tak ingin mati." Dia menyerah dan menandatangani kertas yang diberikan polisi, meskipun dia tidak tahu apa itu sodomi, kejahatan yang dipaksakan untuk diakuinya.

Syahrial, duduk di sebelah Zainal, tumbuh sebagai anak ke-10 dari 11 bersaudara di Pamulang, di mana orang tuanya berjualan kue apem sebagai mata pencaharian. Seperti yang lainnya, dia juga membantu keluarganya. Dia putus sekolah setelah SMP, menikah dan memiliki anak laki-laki berusia 4 tahun. Mereka yang mengenalnya menggambarkannya sebagai seorang pekerja keras dan bertanggung jawab. Dia tidak pernah melihat anak-anak yang ia dituduh melakukan pelecehan hingga hari pertama persidangan. Ketakutan tergambar di matanya ketika saya menanyakan tentang pengakuannya. "Polisi tidak akan mempercayai saya ketika saya menyangkal melakukan apapun; mereka tidak menerima jawaban tidak. Saya dipukuli hingga saya takut mati. Saya tidak tahan siksaan mereka." Dia melihat tangannya dan menelan ludah. "Ini benar-benar sangat berarti orang-orang mendukung dan berdoa untuk kami. Saya sungguh hanya ingi pulang ke rumah bersama keluarga saya. Saya kangen sekali sama orang tua saya, anak saya, dan istri saya. Saya takut nama saya tidak akan pernah dibersihkan, dan mereka semua akan menderita."

Agun adalah anak betawi, anak bungsu dari 4 saudara. Ayahnya bekerja sebagai seorang supir dan Agun membantu orang tuanya. Dia memelihara burung dan ular sebagai hewan peliharaan, meskipun pada awalnya dia takut binatang reptilia. Dia belajar teknik mesin di STM. Dia menyukai sepak bola dan musik, dan belakangan, bacaan spiritual menenangkan dan menguatkannya. Anak perempuannya yang berusia 1 tahun dilahirkan saat dirinya di penjara. Dia melewati hari membuat kerajinan dari koran, berlari, dan berdoa. Dia mulai terlibat dalam pelecehan ketika Awan dipaksa untuk menyebutkan nama-nama lain saat interogasi. Agun mengatakan, "Saya juga disiksa, dan berikan pengakuan palsu untuk menyelamatkan diri saya dari pukulan. Saya memaafkan Awan, dan sekarang kami bersaudara."

Awan, termuda dari para cleaner yang terlibat, orang yang pendiam di grup kami. Dia memiliki senyum yang indah dan ramah. Dia lahir di Nganjuk, Jawa Timur, di mana ia dibesarkan oleh ibu dan bapak tirinya. Setelah lulus SMA, dia pindah ke Jakarta di mana dia tinggal dengan neneknya, yang menghabiskan waktu berjam-jam naik bis untuk mengunjunginya. Dia bekerja sebagai petugas kebersihan di FedEx sebelum dipekerjakan oleh ISS dan ditempatkan di JIS. Dia bangga bisa membeli sepeda motor sendiri dari penghasilannya, yang dipeliharanya dengan sangat teliti.

Agun bercerita tentang anak bayi perempuannya, yang akan ditemuinya dengan istrinya di kunjungan terpisah setelah kami pergi. Matanya berbinar ketika bercerita tentang mereka, dan saya akan bertemu dengannya saat saya pergi, menggunakan kebaya pink, seorang wanita yang anggun dan ramping memancarkan kekuatan. Saya juga akan memperkenalkan diri saya pada orang tua, istri dan anak Syahrial, dan memberitahu mereka bahwa kita semua tau anak mereka adalah orang baik-baik. Ayahnya akan tersenyum dan mengangguk. Kakak Syahrial membayar 2 juta Rupiah pada pengacaranya setiap hari selama persidangan berbulan-bulan. Tidak ada keraguan dalam pikiran para anggota keluarga bahwa mereka adalah korban dari korupsi dan tidak bersalah.

Seiring kami bicara, saya memperhatikan sebuah sesuatu kerapuhan pada anak-anak muda ini; mereka kadang teralihkan pandangannya pada penjaga di koridor di luar pintu ruang kunjungan. Saya ingat kesaksian mereka di serial TV One, " Teriak Terdakwa JIS Dari Jeruji Besi," di mana mereka menceritakan interogasi mereka secara detail. Dipukul berulang kali dengan tinjuan, pipa, stapler, dan kursi, mengancam mereka dengan besi ke alat kelamin mereka, disundut rokok, alis mereka ditarik dengan lakban, satu persatu mereka menyerah. Syahrial disundut matanya dengan puntung rokok, dan ditodongkan pistol di kepalanya sebelum dia setuju untuk mengaku. Gambaran horor itu masih bersama mereka.

Waktu berlalu. Seiring kami bersiap untuk berpisah, Syahrial, yang bicaranya penuh semangat, mengatakan pada kami semua. "Kalian luar biasa," katanya. "Kalian peduli pada kami dan keluarga kami, kalian mengirimkan surat dan membawakan kami kado-kado ini. Kami tak punya apa-apa untuk membalasnya, tapi Tuhan akan membalasnya untuk kami." Dia menyentuh dadanya. "Kado terindah yang bisa kalian berikan," jawab saya, "adalah dengan menggunakan waktu kalian di sini untuk sesuatu yang berharga. Ada perpustakaan, gunakan untuk belajar. Tulis sedikit demi sedikit setiap hari tentang kebenaran dan pengalaman kalian, sehingga kisah kalian bisa diceritakan, dan menolong orang lain pada situasi yang serupa. Ini akan menjadi kado dari kalian."

Ketika kami bangkit untuk pulang, anak-anak muda ini menyodorkan tangan mereka, tapi saya seorang ibu, dan beberapa jam yang lewat ini mereka yang tak berdosa ini telah menjadi anak-anak saya juga. Saya merangkul mereka satu per satu, dan membawa mereka melewati beberapa pintu yang dijaga untuk melihat terangnya sinar matahari siang hari, seperti air mata yang tertahan, diam memecah dalam hati saya. Saya ingat kata Ibrani "tikkunolam," yang artinya kita di sini untuk memperbaiki kerusakan yang ada di dunia ini dan saya dengan hati yang tersayat sadar bahwa segala sesuatu tentang kasus ini rusak/tidak benar. Berdiri di parkiran penjara, saya bersumpah untuk menjadi bagian dari proses untuk melihat jiwa mereka bebas, tak peduli berapa lama. Kesempatan terakhir untuk keadlian mereka adalah Peninjauan Kembali yang akan datang."

Kami butuh seluruh dunia untuk bergabung dengan kami meminta kebenaran dari tragedi ini untuk diceritakan. Sementara dua orang tak bersalah telah dibebaskan, masih ada lima lagi yang nama baik dan kehidupan jujur mereka butuh untuk dipulihkan.


Note:

Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel Justice for All dan sudah diterjemahkan dengan sepengetahuan penulisnya (Kristan Julius).
Mohon maaf bila ada kesalahan terjemahan dalam artikel ini.

2 comments:

  1. menangis.. T.T
    Semoga Tuhan membebaskan mereka..
    Segera!

    ReplyDelete
  2. Tetap semangat! God always beside you!

    ReplyDelete